Setelah menghabiskan waktu selama belasan tahun belajar bagaimana duni aidealnya, akhirnya kita memasuki dunia kerja yang mengajarkan kita bagaiman realitanya. Dimulai dari waktu bekerja pukul 8 pagi – 6 sore. Lalu kita menghabiskan lagi waktu 3 jam perjalanan dalam kemacetan penuh sesak. Bila dalam dunia idealnya kita diajarkan kesuksesan merupakan buah dari kerja keras, jujur, dan baik hati. Maaka realita mengajarkan berbeda, kita melhiat banyak kesuksesan buah dari sikap orang yang “berjiwa boss”, “politisi ulung”, “gemar taichi”, “ahli mengambil hati”, “cerdik”, dan sebagainya.
Mereka semua juga memulai dari dunia bagaimana idealnya. Namun berhasil beradaptasi dengan baik belajar apa yang diperlukan untuk berkembang. Adaptasi tidak hanya berhenti sampai disitu. Kesuksesan dalam realitanya juga menciptakan jurang besar, yang dapat membuat seseorang menjadi larut dalam kesombongan semu, baik terhadap junior, pertemanan, ataupun keluarga yang kondisinya dibawah.
Namun kesombongan itu hanyalah semu. Ketika boss berbicara maka semu7a berubah menjadi anak kucing yang manis. Akhirnya kita pun juga belajar beradaptasi dalam realita dunia kerja. Bekerja keras, untuk kesuksesan yang lebih besar, lebih besar dan lebih besar apapun yang terjadi. Larut dalam perlombaan rat race yang tiada henti. Namun sekeren apapun kita, sebesar apapun yang kita perjuangkan untuk perusahaan, kursi yang kita duduki setiap hari akan dengan mudahnya dikosongkan untuk orang lain di esok hari. Itukah nilai hidup yang kita cari?
Suatu waktu mantan boss saya yang sudah sepuh bercerita dalam puluhan tahun karirnya, beliau pernah berada dalam posisi dilematis untuk mengambil keputusan terbesar berisiko dalam hidupnya. Ketika itu Indonesia sedang dilanda krisis besar dan beliau sudah menjadi boss pada suatu perusahaan bonafit. Datanglah satu kesempatan ditawarkan kepada beliau untuk mengambil alih perusahaan besar yang sedang mengalami kesulitan keuangan. Saat itu sudah ada pemodal yang siap berkolaborasi dengan beliau menjadi nahkodanya.
Sebagai kalangan intelektual dengan background keuangan yang kuat beliau berpikir keras tentang potensi perusahan ini lolos dari ancaman kebangkrutan. Dari menghitung BEP, IRR, DCF, worst case scenario, best scenario. Hasil hitungannya tidak ada yang lolos. Akhirnya dengan berat hati beliau memutuskan melepas oportuniti untuk mengambil alih perusahaan tersebut dan tetap bekerja di perusahaan seperti biasa yang telah menjamin kepastian dan kenyamanan untuknya.
Lalu beberapa waktu kemudian beliau mengetahui yang mengambil oportuniti tersebut tidak lain adalah mantan anak buahnya sendiri. Menurutnya mantan anak buahnya ini bukanlah orang keuangan, bukan orang pintar, tidak paham namanya rasio bankruptcy, financial projection dan sebagainya. Beberapa tahun kemudian setelah krisis berlalu dan ekonomi mulai stabil kembali, perusahaan tersebut menjadi perusahaan raksasa dengan kapitalisasi triliunan. Kesimpulannya adalah untuk menjadi sukses kita tidak harus menjadi orang yang pintar. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mengambil risiko dalam suatu ketidakpastian.